Sabtu, 06 Desember 2008

Pusaka Alam dan Pusaka Saujana

Pusaka Alam dan Pusaka Saujana
http://ummul.staff.uns.ac.id/2008/12/06/pusaka-alam-dan-pusaka-saujana/

(Materi KKL Siung 2008)

(Pameran hasil KKL Siung akan digelar mulai tanggal 9 Desember 2008 di Jurusan Arsitektur FT UNS)

Senin, 13 Oktober 2008

Fenomena Bung Karno, Sang Proklamator

Fenomena Bung Karno

Sang Proklamator

Kota kecil yang mulai dijejali dengan toko-toko ataupun ruko-ruko dengan berbagai macam barang atau jasa yang ditawarkan, itulah Kota Blitar. Kota yang sering dikenal dengan perjuangan Peta oleh Sodancho Supriadi, dan juga kota yang dikenal oleh bangsa ini sebagai kota kelahiran sang Proklamator, Bung Karno, sebuah image yang terus terngiang dalam telinga setiap penduduk di kota ini, bahkan penduduk negeri ini. Kota Blitar, bila mengingat tempat ini pada jaman kerajaan dahulu, tempat ini adalah dimana Raden Wijaya juga akhirnya dimakamkan di kota ini. Semua itu seperti mengisyaratkan bahwa kota ini adalah kota untuk beristirahat, kota yang jauh dari keramaian duniawi, kota yang selalu tenang, seperti itu kata orang-orang tua di sini.

Bung Karno, beliau lahir di kota ini dan juga akhirnya pun dimakamkan di sini pula, seorang tokoh yang selalu di puja di kota ini, dan bahkan ada yang bilang, “Siapapun Presidennya, Presiden kami tetap Bung Karno”, sungguh besar kebanggaan kota ini terhadap Sang Proklamator.

Sebuah makam yang dulunya hanya sebuah kompleks pemakaman kecil, dengan sebuah pendopo makam utama untuk Sang Proklamator ini, kini menjadi sebuah kompleks yang sangat indah, terdapat sebuah Museum, Perpustakaan Internasional, dan juga tentunya Makam Bung Karno.

Penduduk sekitar menjadi pihak yang sangat diuntungkan, peziarah-peziarah semakin banyak berdatangan, hingga kios-kios souvenir penduduk sekitar tak sepi dari para pembeli. Kios-kios souvenir ini berjajar memadati setiap pinggir jalan raya menuju Komplek Makam Bung Karno, hingga kita tak akan pernah berhenti untuk membaca tulisan “Soekarno” ketika kita berjalan melewati jalan tersebut. Bahkan tak hanya kios-kios souvenir, berbagai macam warung, restoran, hotel, motel, dan sebagainya bisa dijumpai di sekitar jalan ini.

Kompleks Makam Bung Karno membujur lurus dari Selatan ke Utara, dari pintu masuk hingga ke makam. Di mulai dengan sebuah taman di depan, para peziarah atau pengunjung disuguhi dengan eksentriknya tampak bangunan Museum di sebelah kiri (barat) dan Perpustakaan di sebelah kanan (timur). Sebuah tampak yang disajikan berbeda dengan keadaan lingkungan di sekitar, menjadikan bangunan ini berciri khas dan berbeda, warna abu-abu dari batu blok sebagai tampilan luar bangunan, menggambarkan bangunan ini kokoh dan tegas serta sejuk. Kaca-kaca yang transparan mengisyaratkan bangunan ini juga terbuka bagi umum, bagi semua kalangan dan golongan, tak membedakan siapapun.

Dari taman, menuju ke dalam, terdapat sebuah anak tangga turun menuju lorong antara kedua bangunan di kanan dan di kiri yang seakan terpisah, namun sebenarnya adalah satu bagian. Sebuah lorong yang megah, dengan tiang-tiang bulat menjulang ke atas, entah tak tau pasti apa maksud sang arsitek, namun tiang-tiang tersebut memberi aksen yang kuat pada bangunan istimewa ini, bangunan yang monumental. Di tengah-tengah lorong menuju bagian selanjutnya kompleks ini terdapat sebuah patung besar, yaitu patung Sang Proklamator, Bung Karno, duduk di sebuah kursi dengan kaki menyilang memangku sebuah buku yang terbuka sedang dipegang tangannya, dengan tatapan tajam mata Sang Proklamator menuju para peziarah atau pengunjung dari lorong masuk. Sungguh penghayatan dan pengalaman suasana hati yang tajam dan menusuk. Tersenyum hati menjiwai tatapan itu.

Di sebelah kiri dan kanan patung tersebut, terdapat pintu masuk Perpustakaan di sebelah timur dan Museum di sebelah barat. Ada sebuah tanda “No Camera Please”, sebagai tanda bagi para pengunjung untuk tidak mengambil gambar di dalam kedua area tersebut, agar tidak mengganggu suasana yang ada di dalam Perpustakaan maupun di dalam Museum.

Perpustakaan ini mempunyai koleksi buku yang sangat berharga, dari berbagai macam ilmu pengetahuan, buku-buku ensiklopedi, hingga tentunya buku-buku tentang Bung Karno bahkan buku-buku karya Bung Karno sendiri di masa hidupnya. Perpustakaan terdiri dari dua lantai, begitu juga area Museum. Kedua area ini terhubung oleh jembatan di lantai dua, tepat di depan atas patung (statue) dan di belakang atas patung. Jadi pengunjung dapat menyapa patung Bung Karno, baik dari atas maupun dari bawah. Sebuah pendalaman yang indah bagi Sang Presiden RI pertama ini. Pemimpin itu terkadang di atas dan juga terkadang di bawah pula, ada saatnya di depan sebagai pemimpin ada pula saatnya menjadi pelayan bagi rakyatnya. Sungguh…

Setelah lorong tersebut dilalui, terdapat seperti boulevard yang terbuka, hamparan perkerasan dan kolam menjadi pemandangan yang segar, dengan dikelilingi berbagai ornamen. Di sebelah timur terdapat sebuah relief, yang salah satu isinya adalah relief teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang di tanda tangani oleh Soekarno-Hatta. Tiang-tiang bulat menjulang ke atas terus menerus menghiasi dan menuntun jalan para peziarah dan pengunjung. Di sebelah barat terdapat bengunan kios penjualan souvenir dan buku-buku dari pengelola bangunan (official kiosk).

Dari sini para peziarah dan pengunjung dibimbing menuju anak tangga naik menuju area pendopo makam. Sebuah gapura candi menandai jalan masuk menuju pendopo. Sebuah pendopo yang kini sungguh terbuka bagi pengunjung. Para peziarah duduk berjajar, bersila, membuka kedua tangan mereka ke atas, memohon do’a, untuk diri mereka dan untuk Sang Proklamator. Batu nisan makam sang Proklamator adalah bongkahan batu besar yang diletakkan di atas makamnya, yang konon dahulu pernah terlihat seperti muka harimau apabila di foto, entah itu benar atau tidak, entah itu pertanda apa, tetapi kejadian itu muncul ketika negeri ini sedang dalam guncangan hebat era Reformasi.

Suasana hening selalu menghiasi area pendopo ini, kehikmatan para peziarah selalu terasa, meskipun sedang ramai sekali. Terasa sejuk…

Maaf apabila tidak ada foto atau gambar makam Bung Karno, sebenarnya ada, tapi sengaja tak ditampilkan, apabila hati penasaran, silakan singgah ke kota kecil ini, Kota Blitar….

Terima kasih.



Ditulis oleh

Muhammad Hallala (I0205093)

Photograph by

Muhammad Hallala

Rabu, 17 September 2008

Catatan Perjalanan ... (bagian 2)

LIBURAN KE MALANG

Pada waktu liburan semester genap saya dan keluarga berlibur ke Malang. Pada hari minggu malam tanggal 20 juni saya dan keluarga berangkat ke malang, disaat dalam perjalanan pergi ke Malang saya dan keluarga mengalami kebingunan jalan menuju Malang. Karena beberapa kali saya dan keluarga salah jalan,tapi akhirnya kami bisa menemukan jalan ke Malang tanpa harus salah jalan lagi. Akhirnya pada pagi hari saya dan keluarga sampai di Malang.

Pada waktu di Malang saya dan keluarga tidur di tempat bulek,di sana kami beristirahat. Pada saat sore harinya saya dan keluarga pergi ke Jatim Park,di sana banyak sekali permainan seperti di ancol. Akhirnya saya bermain RoolCoaster disaat saya naik perasaan saya sangat takut sekali,waktu permainannya di mulai saya berteriak kenceng karena saya sangat ketakutan sekali. Tapi saya sangat senang sekali bisa bermain RoolCoaster,walaupun tidak seperti yang di ancol.

Di Jatim Park saya bermain Bom-Bom car,di sana juga saya meliat-liat permainan yang lain. Pada waktu sore hari saya dan keluarga pulang kerumah bulek untuk bermalam di sana. Di saat waktu saya mau tidur udaranya sangat dingin sekali,saya belun pernah merasakan udara yang sangat dingin dan sejuk pada waktu tidur. Karena udara di Solo sangat panas sekali. Akhirnya pada pagi hari saya dan keluarga melnjukan liburannya ke Taman Safari. Di sana saya melihat hewan-hewan yang belum pernah saya liat sendiri,di sana banyak sekali hewan dari beberapa daerah maupun negara lain. Di sana saya berfoto dengan beberapa hewan,perasaan saya pada saat di foto sangat takut dan geli. Tapi saya bisa menghilangkan rasa takut dan geli. Saya juga meliat hewan-hewan yang beraktraksi,saya sangat senang bisa ke Taman Safari melihat beberapa hewan yang belum saya liat.

Pada waktu siang hari saya dan keluarga melanjutkan liburannya ke Wisata Bahari Lamongan. Di saat menuju Lamongan saya dan keluarga mengalami kebingunan jalan lagi,tapi akhirnya saya dan keluarga bisa menemukan jalan menuju lamongan. Akhirnya saya dan keluarga sampai juga ke Taman bahari Lamongan,di sana saya bermain kura-kura seperti yang di ancol. Perasaan saya sangat takut sekali karena sangat tinggi, tapi saya sangat senang. Selain itu saya juga bermain perahu di pantai, pada saat saya bermain perahu di pantai saya terjatuh ke laut. Di saat saya terjatuh banyak sekali yang melihat saya. Perasaan saya sangat malu sekali,akhirnya saya mengganti baju saya yang basah. Pada waktu sore hari saya dan keluarga pulang menuju Malang untuk bermalam lagi di tempat bulek.

Pada malam harinya saya dan keluarga pulang ke Solo,tak terasa liburan nya berakhir juga. Disana perasaan saya sangat sedih dan senang,karena liburan nya harus berakhir. Saya sangat menikmati liburan pada semester genap ini,walaupun hanya sesaat. Bagi saya liburan semester genap ini sangat berkesan dan tak terlupakan.

NONIEK NURCAHYANTO I0205097

_______________________________________________________________

Ahmad Azhari Arfandi I0206118

Perjalanan ke Gua sumenep daerah pantai suing, Gunung kidul YogYakarta

Perjalana saya di mulai dari mengikuti kegiatan bakti social yang di adakan oleh beberapa UKM yang berada di fakultas teknik Universitas sebelas maret SURAKARTA, UKM2 yang ikut dalam acara tersebut di antaranya HMA ( himpunan mahasiswa arsitektur ), HMP ( himpunan mahasiswa program diploma ), & Ab ( ajustra brata Fakultas Teknik ). Semula saya tidak mengira perjalanan saya akan seseru ini, karena bayangan saya setelah saya menginjakan kaki di daerah pantai Siung saya hanya akan melakukan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan pengabdian diri kita sebagai mahasisiwa kepada para masyarakat sekitar yang tinggal di daerah tersebut.

Saat itu ketika saya dan Tim Pemetaan sedang melakukan sosialisai tentang cara cara melakukan pemetaan daerah pantai sung kepada masyarakat sekitar, yang di lanjut kan dengan melakukan perjalanan atau survey langsung ke lokasi saya menanglap suatu fenomena yang sangat unik dan menarik, bias di katakana sebagai gejala arsitektur. Di mana pada saat saya melakukan perjalanan saya dan Tim Pemetaan mendapati sebuah Guo yang sangat menarik dan bisa di jadikan Obyek wisata, namun aneh nya guo tersebut jarang di kunjungi oleh Mnsyarakat luar ( pengunjung ) karena medan menuju Guo tersebut sangat sulit dan membutuhkan sedikit perjuangan. Yang membuat saya kagum yaitu ternyata selain daerah suing mempunyai pantai yang begitu indah, terdapat beberapa obyek lagi yang tidak kalah indah dan menantang yaiutu Goa Sumenep.

Demikian cerita perjalanan saya dalam menangkap sebuah gejala arsitektur yang ada di alam sekitar kita… hikmah yang dapat saya ambil dari perjalanan kali ini adalah betapa indah alam sekitar yang kita huni ini, dan ini merupakan bukti dari kebesaran Sagn Pencipta, untuk itu sebagai rasa syukur ke padaNYA kita wajib memelihara dan melestarikan alam sekitar kita… wassalam

_______________________________________________________________________

Nama : Kurnia Dwi Prawesti

NIM : I 0206013

CATATAN PERJALANAN KE BANYAK TEMPAT

Sebagai pendatang dari luar kota Solo, saya merupakan salah satu orang yang kurang menikmati dunia di sekitar Solo. Sampai saat ini kunjungan saya ke daerah-daerah si sekitar kota Solo seperti Karanganyar, Boyolali dan lainnya dapat dihitung dengan jari. Misalkan saja ke daerah Tawangmangu, dapat diperkirakan baru sekitar tiga kali sampai saat ini.

Suatu saat saya diajak oleh salah satu teman saya ke wilayah sekitar Tawangmangu. Saat itu kebetulan asaya sedang tidak ada kerjaan. Saya langsung mau diajak jalan-jalan. Akhirnya sekitar jam 11 siang, kami meluncur ke daerah tawangmangu. Ternyata tujuan yang tadinya saya kira menuju Taawangmangu ternyata bukan. Dengan mengambil jalur menuju candi Sukuh, kami menuju desa yang bernama Berjo. Di situ kami makan di warung makan langganan teman saya. Setelah cukup mengisi perut kami melanjutkan perjalanan melewati Desa Karangtaji kemudian ke desa Godang, pada akhirnya di desa Tambak.

Di desa Tambak kami sebenarnya berniat untuk mengunjungi seorang kolektor tanaman hias yang merupakan kenalan teman saya yang juga seorang penggemar tanaman hias. Tapi karena kami tidak menjumpainya, maka kami pulang. Dari situ teman saya menunjukkan sebuah jalan yang ternyata merupakan shortcut menuju puncak Lawu. Jalan tersebut sepengamatan saya merupakan jalan alternatif yang tidak terlalu menanjak. Jalannya pun termasuk lumayan sebagai jalur pendakian, karena sudak dibangun jalan kerikil. Namun menurut cerita teman saya, jalur yang ternyata merupakan jalur penduduk yang mencari kayu tersebut, termasuk jalur yang cukup sulit. Dengan kemiringan lebuh dari 55° jalur tersebut cukup sulit. Namun jarak menuju puncak hanya sekitar 3 jam perjalanan.

Setelah dari desa tambak,kami kembali ke desa Berjo. Dari pertigaan ke arah Candi sukuh, kami mengambil jalur tersebut. Selama perjalanan kami mendiskusikan mengenai kontur wilayah tersebut, view, serta iklim daerah tersebut serta berangan-angan mengenai pemanfaatan wilayah tersebut,karena kebetulan teman saya tersebut merupakan mahasiswa Jurusan Teknik Sipil di UNS juga.

Di perjalanan,kami mampir ke candi Cetho. Dalam perjalanan ke Candi Cetho, saya menjumpai sebuah lapangan yang berada di sebuah puncak bukit. Jadi dari lapangan tersebut dapat melihat ke seluruh arah, juga bagus dilihat dari daerah yang lebih tinggi. Saya membayangkan ketika ada pertandingan sepakbola di sana dan saya kira akan sangat keren moment tersebut.

Di daerah Candi Cetho juga saya rasa cukup unik. Desa yang berada sekitar candi, di setiap main entrance dibangun gapura model Hindu yang mirip style Bali. Hingga gapura SD pun juga seperti itu. Rasanya seakan berada di Bali. dan kalau saya foto di sanapun pasti banyak yang akan mengira lokasinya di Bali.

Setelah puas mengamati daerah tersebut, kami menuju ke arah Sragen melewati Kemuning kemudian Desa Jenawi hingga ke Sragen. Di kemuning saya melihat kebun teh yang pola penanamannya rapi dan saya rasa cukup bagus. Bahkan kalau kepingin ke kebun teh, saya kira tidak perlu ke Puncak, ke sana pun suasananya cukup mendukung bagi saya.

Sepanjang perjalanan menuju Sragen,saya melihat garis marka jalan yang tidak rapi. Dari situ saya simpulkan bahwa pembangunan belum maksimal di daerah itu. Walaupun sudah memiliki jalan aspal, namun masihlah kurang. Akan tetapi hal baik yang saya dapat dari sana adalah bahwa kerjasama antar warganyapun cukup baik. Tanpa bantuan dari pemerintah saya menilai bahwa penggambaran marka jalan yang dibuat manual tersebut m,erupakan hassil gotong royong warga.

Setelah sampai di Sragen, kami mapir sebentar ke rumah teman kami hingga waktu maghrib. Setelah maghrib, kami melanjutkan perjalanan pulang ke Solo. Begitulah catatan perjalanan saya..

PGS, siangnya panas...malamnya dingin


Kalo para pelancong tertarik pergi ke Solo jelas ga akan pernah yang namanya ketinggalan buat mampir ke Pasar Klewer dan PGS yang katanya “Tanah Abangnya wong Solo” gitu de… Berkunjung ke Solo kurang lengkap jika tidak melihat-lihat dan membeli kain batik. Salah satu tujuan wisata andalan di Kota Solo selain keraton adalah wisata belanja, terutama batik. Banyak alternatif lokasi dan pusat perbelanjaan untuk dijadikan tujuan berbelanja batik. Mulai dari kain batik tulis dengan motif Solo, batik cap atau printing, baju batik, kain sprei batik, hingga sarung bantal, gorden dan segala aksesoris berbau batik, tersedia di Solo. Selain itu banyak juga toko yang menyediakan berbagai accesories, sepatu, tas dengan harga yang tergolong murah, apalagi jika belinya secara grosiran.
Salah satu tempat yang banyak menyediakan koleksi batik adalah Pusat Grosir Solo atau orang biasa menyebut dengan PGS. Lokasinya berada di sebelah timur Perempatan Gladak, tidak jauh dari Kraton Surakarta dan Pasar Klewer. Lokasi PGS berjejer dengan Beteng Trade Center (BTC), persisnya di sebelah baratnya.
Bagi yang ingin berkunjung di PGS bisa memarkir kendaraannya di kompleks BTC maupun sebaliknya pengunjung BTC bisa memarkir kendaraannya di PGS. Kebanyakan toko atau tenant di PGS mulai tutup pada sore hari sekitar pukul 16.00 -17.00 walaupun pada waktu waktu tertentu buka sampai malam hari, seperti misalnya ketika ada festival musik atau makanan di
lantai paling atas.(bahasa saya terlalu baku, jadi susah crita nih, so pake bahasa sehari2 aja yah, biar gampang,piss:)
Sebagai warga Solo yang tidak mau disebut “katrok” oleh Mas Tukul ga mungkin banget kalo ga tau atau belum pernah pergi ke PGS. Naik motor dari rumah saya cuma berjarak 5x lampu
“bangjo” (deket banget khan..?). Barangnya lumayan lengkap mulai dari kebutuhan anak-anak sampai kakek-nenek ada di sini. Harganya lumayan murah meskipun bisa tawar menawar dan yang pinter nawar pasti dapat harga bagus. Meski namanya Pusat Grosir Solo, ga usah khawatir, ada barang ecerannya juga kok. Tempat belanjanya sebenarnya nyaman dan ber-AC.
Penataan space buat pedagang pun sebenarnya juga longgar, tetapi kenapa ya tiap kali kesana saya selalu kepanasan? Apalagi kalau lagi “ngenyang” alias nawar harga (butuh energi khusus kali ya?, kalau berhasil nawar itu kebanggaan tersendiri lho,hehehe.)
Pas ke sana “ndilalah” pas hari Minggu (lupa kalau itu hari Minggu), alhasil parkiran rame banget. Sampe-sampe harus naek ram ke lantai 4 (bareng-bareng sama mobil agak ngeri juga, moga-moga ga ada yang pake mobil otomatis ,hehehehe) Huff, dan akirnya sampe juga ke lantai 4 dan ternyata….ada tempat parker dadakan yang dipersiapkan khusus (kasian banget, padahal lantainya keramik lho ,sungguh sayang..). sebelum turun tuk berperang melawan penjual disana, saya keliling dulu ngliat keadaan di lantai 4.
Ternyata sebenarnya lantai 4 itu juga bakal dijadiin tempat jualan. Kok bisa? Dari lantainya udah keliatan di kapling-kapling. Batas kaplingan dikasih keramik warna coklat (kalo ga salah ding,lupa!). Sudahlah, mungkin lagi apes memang, berhubung rame banget, dibawah apa lagi. Akhirnya cuma foto-foto sebentar trus pulang deh…

Ada lagi yang baru di daerah sana, Galabo namanya. Galabo, Gladak Langen Bogan. Intinya pusat jajan pokoknya! Tiap malem, jalan di depan PGS dan BTC di tutup, trus dipasangi meja-meja (kaya China Town kalo diliat dari atas). Jadi kalo ke Solo, siangnya belanja baju & batik di PGS/klewer/BTC, nah malamnya tinggal nongkrong di Galabo. Jangan lupa pake jaket, soalnya anginnya cukup kenceng. Catatan, jangan ke sana malem minggu, ramenya minta ampuuun…!!..


ps: aku juga lupa kalu hari ini tanggal 10...(maap telat,ga papa ya bu...;)

Rabu, 10 September 2008

Catatan Perjalanan ...

1st experience @ boulevard......

saya wahyu...angkatan 2006 arsitektur UNS
sketsa tersebut saya buat dalam rangka diskusi 'MELIHAT GEJALA ARSITEKTURAL' di boulevard UNS pada saat ngabuburit sekitar jam 5 sore tanggal 4 September 2008.
Banyak sekali pengalaman yang baru yang bisa saya serap dari menit ke menit berada disana. Pada saat saya memulai membuat sketsa, jumlah manusia yang ada di boulevard tidaklah begitu padat...yah dapat dilihatlah di dalam sketsa saya, walaupun sebenarnya tidak sesedikit itu juga...hehehe...
namun yang terjadi pada saat saya selesai sketsa (taruhlah 5-10 menit saya membuat sketsa), suasana sepanjang boulevard sangatlah berubah drastis...
banyak yang datang...banyak yang lalu lalang...

selain itu juga terdapat beberapa 'gejala' yang secara biasa memang ada namun dapat menimbulkan beberapa pertanyaan....seperti tiba-tiba terdapat ruang parkir 'darurat', lalu ter dapat titik-titik dimana manusia (yah bukan cuma mahasiswa yang ada di boulevard kan??) banyak berkumpul, mahasiswa yang lalu lalang yang bila jeli memperhatikan maka bisa dilihat terdapat beberapa kemiripan di mereka yang berkumpul, yang jalan bareng, yang nongkrong dan lain-lain....(ngutip loh dari kata-kata bu ummul..hehehehe)

........other experience............
Satu pengalaman lagi dalam mengamati gejala arsitektural yaitu saat saya dapat kesempatan untuk jalan-jalan ke Sentul....bukan perumahan 'Bukit Sentul'-nya, namun beberapa kilo lagi diatas perumahan tersebut.
yang pertama saya komentari begitu sampai ke tujuan yaitu kampung 'bojongkoneng'...."koq berdekatan tapi beda sejauh ini ya??????"
entah bagaimana perbedaan antara perumahan sentul yang begitu megah dan tertata rapi bersandingan dengan kampung bojongkoneng yang masih begitu tradisional...anehnya, penduduk kampung harus melewati pintu gerbang perumahan yang megah dulu baru sampai ke kampungnya...
aneh memang...

satu lagi yang saya masih terheran-heran yaitu kehidupan sosial di kampung yang begitu membumi dan juga sepertinya semua orang di kampung itu saling tahu dan mengenal baik orang lain yang tinggal di kampungnya..(itu sih kayaknya hampir di setiap kampung...beda dengan kota...yang sama tetangga sebelah rumah saja tidak tahu namanya siapa...uops...pengalaman)
hal mengenai kehebatan orang kampung tersebut terbukti saat saya dan teman2 yang kebetulan mendaptkan kesempatan untuk melihat secara langsung daerah tersebut, berkeliling ke sekitar kampung...menuju ke curug (air terjun) yang jauhnya amit-amit lewat sawah, sungai, hutan kecil yang kalau saya kira sudah beda kampung ternyata begitu bertemu yang jaga curug mereka kenal dengan orang yang punya rumah tempat kami menginap...suatu hal yang mungkin tidak ada di kota, walaupun Jakarta hanya beberapa menit dari kampung tersebut...

yah mungkin sebatas itu dahulu yang dapat saya ceritakan saat ini, walaupun sebenarnya masih banyak hal yang bisa saya ceritakan tapi mata saya ga kuat lama-lama di sepan komputer...hehehe....so kalau lain kali ada kesempatan lagi mungkin bisa saya sambung...
thank you

regrads,

Wahyu Adi Soleh Mualim

wahyu adi wahjoe_adi44@yahoo.co.id

NGABUBURIT NEK BOULEVARD YOK.....

Bulan ramadhan emang bulan penuh berkah, ya n pasti itu berlaku bagi smua orang, pakagi bagi pedagang makanan, begitu pila bagi mahasiswa UNS. Salah satu tempat yang paling rame di kampus UNS menjelang buka puasa adalah bulevard. Klo dah mendengar kata bulevard pasti yang teniang pertama adalah banyaknya mahasiswa yang nongkrong palagi di bulan puasa kayak gini.

banyak kejadian yang terjadi di bulevard saat menjelang buka puasa, dari aktifitas mahasiswa yang cuma nongkrong sambil manunggu buka, pedagang yang sibuk menata stan jualan, pemintaminta yang hilir mudik dari satu orang ke orang lain, dan masih banyak yang lainnya.

betapa ramenya bulevard saat menjelang buka puasa, bahkan mungkin klo disamakan ama pasar impres ya ramenya hampir sama. gak cuma nongkrong doang tapi banyak mahasiswa yang memanfaatkan momen ngabuburit dibulevard ini sebagai ajang mencari kenalan, ada juga anak-anak dari klub fotografi yang untuk kebolehan dengan mengambil momen-momen terbaik yang mereka temui saat hunting disana. huh pokoknya rame banget dan riuh pikuklah pokoknya. gambaran bulevard yang angkuh dan kokoh berdiri sebagai pintu gerbang utama masuk UNS serasa runtuh kewibawaannya saat terjadi momen seperti ini, ya lebih mirip tu gerbang UNS sebagai kiasan ataupun background buat suasana ngabuburit bareng seh.

selagi menunggu buka puasa ternyata banyak hal yang dapat diperoleh dari nongkrong di bulevard, banyak ketemu teman ya sekalian menjalain silaturahmi, bisa juga malah dapat kenalan, juga dapat traktiran........ya bisa itu salah satu berkat di bulan Ramadhan lho.....

aneka makanan disuguhkan disana, mulai dari kolak, es buah, anaka gorengan, somay, bahkan warung hek pun juga ada, wah pokoknya ala mahasiswa banget dah harganya......hehehehe.......

ya selain pedagang yang memajang barang jjualan mereka, mahasiswa juga tak mau kalah dengan memajang sepeda lotor mereka karena tidak ada tempat parkir seh, tapi suasana tersebut memeng menjadi ciri khas ngabuburit ala anak kampus.

gak semua yang nongkrong da bulevard tu mahasiswa tetapi segala umat deh klo boleh dibilanmg, yang dari anak-anak sampai aki-aki n nenek-nenek juga ada......rame, menyenangkan, skaligus membahagiakan. animo dari tempat ini sangat terasa wah bagiku dan membuatku rindu buat merasakan suasana yang seperti ini lagi...

ya dari pengalaman nongkrong skalian ngabuburit di bule vard tersebut banyak hal menarik yang dapat saya lihat dari kehidupan ini, mulai dari ekpesi orang yang sedih, kelaparan, samapai yang senang dan bahagiaa itulah keajaiban dan keindahan di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini.......

ya itu sebagian yang dapat saya laporkan dari hasil ngabuburit brsama anak-anak matkul KKL, ternyata nongkrong sampil ngabuburit bukan hal yang pantas bbuat dilewatkan, ya walaupun cuma bersenang-senang tapi juga bisa skalian menjalankan ibadah n mendatangkan spirit yang baru setekah seharian berpuasa. betapa hebat animo pengunjung sehingga dapat merubah citra bulevard kampus yang sangat megah menjadi sangat welcome bagi semua umat baik dari berbagai kalangan........hal tersebut juga sangat mem buat UNS menjadi sangat mene rik buat dikunjungi dan terlihat sangat WAh bagi masyarakat juga mahasiswa. batepa bangganya saya menjadi anak UNS bisa merasakan animo yang sangat berkesan ini di kampus saya sendiri (gak bohong lho..)

YUANITA SETYO ATRI

I 0205126

nita atri nita_atri@yahoo.com

Tour de East Java

Ironi adalah sebuah substansi, sedangkan yang mengikutinya adalah sebuah kompensasi. Itulah makna yang bisa saya tangkap dalam tour saya kali ini.
Sebenarnya, inti perjalanan saya dalam rangka menjenguk teman yang sedang sakit dan membutuhkan dukungan sehabis operasi berat. Itu substansinya. Tapi apa daya, manakala perjalanan tersebut menimbulkan kompensasi, sebuah perjalanan rekreasi, saya hanya menerima dengan senang hati tentunya. Hehehe
Perjalanan yang tidak seberapa ini entah mengapa begitu membekas di hati saya. karena yang pertama tentunya kenekatan kami, tiga orang perempuan, memutuskan untuk mengembara hingga Kediri
dengan bermodalkan sepeda motor. kawan saya sampai harus berbohong pada banyak pihak demi melakukan perjalanan nekat ini. yang kedua, tentunya esensi dari berwisata kompensasi tadi, karena akhirnya kami tidak hanya mengunjungi Kediri saja. itu kompensasi lain bagi saya.
Pagi hari kami berangkat bersama dengan hati tanpa prasangka dan praduga. Dengan gembira dan wajah riang karena ini merupakan perjalanan panjang pertama kami, sepeda motor dipacu dengan kecepatan sedang. Rupanya, satu sebab menarik akibat. Ban sepeda temanku bocor. Saya menganggap ini akibat kebohongan kolektif yang dia ciptakan sendiri demi memuluskan jalan kami menuju Kediri. Syukur-syukur kalau akibatnya hanya ban bocor saja, kalau akibat kebohongan itu sampai memakan korban jiwa, saya tidak tahu apa saya masih bisa tidur nyenyak saat ini atau tidak.
Dan untungnya, ban bocor itu satu-satunya hambatan kami mencapai Kediri.
Setelah tiba di Kediri, teman yang kami jenguk sudah dalam keadaan lebih baik, dan sudah dirawat di rumah. Kami hanya menjenguknya sebentar karena malamnya kami memutuskan untuk menginap di rumah saudara teman kami di Pare. Sebelumnya, atas nama kesopanan dan persaudaraan, kami harus berjalan-jalan mencari oleh-oleh sebagai tanda mata untuk saudara teman saya itu.
Rupanya, ban bocor saja tidak cukup sebagai kompensasi kebohongan publik teman saya itu. Di perempatan jalan, motor yang ia kendarai hampir jatuh karena licin jalan sehabis hujan. Saya tidak sempat menyaksikan kejadian itu, sampai tiba-tiba dia berjalan tertatih-tatih menyusul kami yang sudah berada di depan.
Akibatnya, kami memutuskan tidak berkendara untuk menuju ke rumah saudara tempat menginap, tapi kami meminta saudara temanku menjemput.
Di Pare. Rumah saudaranya teman saya rumah Jawa sekali. Kami tiba dengan kondisi lelah dan lapar serta kebutuhan mandi yang amat sangat, sehingga saat itu yang terpikir hanya makan, mandi dan beristirahat di atas kasur yang lembut.
Kamar mandinya terpisah dari WC, dan sangat natural sekali, maksudnya saking menyatunya dengan alam, kita dapat melihat pekarangan belakang rumah yang gelap lewat lubang-lubang bilik bambu dan merasakan semilir angin malam yang berhembus melalui ventilasi batang bambu yang diletakkan setinggi leher saya. Agak kurang nyaman bagi saya melihat pemandangan luar selagi saya mandi, apalagi saat itu pukul sembilan malam! Yah, rupanya Tuhan senang mempermainkan nyali hambanya. Tepat saat saya mandi, lima menit kemudian lampu mati. Maka gelaplah seluruh jangkauan mata tempat saya memandang. Bahkan tidak terlihat sinar rembulan dari luar yang setidaknya dapat memberikan sumbangan cahaya untuk mata. Maka timbullah pemandangan-pemandangan aneh akibat sugesti dari pikiran, dan melayang-layang di benak saya. Sekiranya ada kuntilanak, pocong, atau bahkan ada genderuwo yang doyan ngintip orang mandi, pasti saat ini saya menjadi korbannya. Tapi sejujurnya, yang membuat saya takut bukan makhluk-makhluk tak kasat mata seperti mereka itu. Saya jauh lebih takut kalau-kalau saya salah mengambil ular yang dikira gagang gayung. Atau salah mengambil laba-laba besar dikira spons badan.
Untungnya, kegelapan tidak menghampiri saya terlalu lama, tapi dengan kuantitas yang sangat maksimal. Maksudnya, 3 detik terang, 1 menit gelap, dan begitu seterusnya selama saya di kamar mandi. Untungnya saja, saya tidak memiliki keinginan untuk membuang hajat. Karena apabila panggilan alam sudah terasa, saya harus berjalan keluar rumah di tengah kegelapan sekedar bercengkerama dengan WC dan kakus.
Bagaimanapun keadaan rumah itu, saya tetap nyenyak-nyenyak saja tidur di kamar meski harus berbagi kasur dengan kedua teman saya.
Esok paginya sangat menyenangkan. Terkesan dengan pengalaman bergelap-gelapan dalam kamar mandi, saya melampiaskan perasaan haus akan cahaya dengan berjemur di halaman depan rumah. Halaman yang cukup luas itu ditanami pohon mangga yang sayangnya belum berbuah. Berbatasan dengan jalan, saya melihat aktivitas masyarakat setempat yang mulai menggeliat. Dasar memang narsis, kami mengabadikan kegiatan eksplorasi kegiatan warga pagi hari dengan menggunakan kamera. Tapi tentunya yang kami abadikan adalah muka kami sendiri bukan kegiatan warga yang menjadi objek secara tidak langsung. Dunia memang tidak adil, tapi inilah hidup! Hehehe.
Bosan hanya berada di depan, kami memutuskan menjelajah ke area belakang rumah, apalagi sabda alam di pagi hari sudah harus dituntaskan, alias membuang hajat. Tidak kalah mengerikannya dengan kamar mandi, WCnya hanya berupa batang-batang bambu belah yang dipatok dan dibuat seperti kandang ayam dengan sebuah urinoir di tengah-tengah. Saat kita jongkok mematung di atas kakus, kita akan dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi seekor ayam yang berada di dalam kandang ayam. Benar, bagi saya pribadi saya merasa tidak nyaman dan tidak berasa menjadi manusia saat menggunakan toilet itu. Tapi itu belum seberapa kalau mendengar kebiasaan suku daerah lain yang terbiasa buang air langsung di tengah-tengah pekarangan atau sungai.
Ternyata, di belakang rumah terdapat tambah lele dan kebun yang sangat luas. Saya sempat berpose dengan seekor lele dan hasilnya, hampir saya merelakan pipi kanan saya dicium mesra oleh si lele tersebut. Benar-benar tidak tahu diri lele itu, seperti pungguk merindukan bulan, jatuh cinta pada anak manusia yang berbeda spesies! Hehehe. Maaf, tadi hanya intermezo saja.
Pekarangan belakang rumah lebih menarik untuk dijelajahi. Setelah melewati kebun dengan berbagai spesies hayati yang ada di dalamnya, dari yang paling besar sampai tanaman yang entah dari bagian mananya bisa digolongkan dalam jenis vegetasi, kami sampai pada sebuah sungai yang lumayan besar dengan dilengkapi pintu air. Begitu indahnya pemandangan desa, lagi-lagi kami tidak dapat menahan keinginan dalam diri untuk melakukan pose sesuai kemampuan kami yang pas-pasan di depan kamera. Sayangnya, hari beranjak siang, memaksa kami melanjutkan perjalanan menuju rumah neneknya teman saya, yang letaknya di pegunungan. Sebenarnya kami berencana untuk pulang pagi itu juga, namun desakan kerinduan sang nenek terhadap cucunya lebih kuat menarik kami dibandingkan keinginan kami untuk segera pulang ke Solo. Apa boleh buat, dalam keadaan bingung bercampur senang, kami pergi ke rumah nenek. Dan hasilnya sangat tidak mengecewakan, walau hanya berkunjung sebentar, kami sempat memenuhi panggilan jiwa kami sebagai seorang model. Foto.
Siangnya kami memutuskan untuk langsung pulang dari Kediri, tapi ternyata teman dari Ngawi ingin mengajak kami jalan-jalan. Alhasil, kami janjian bertemu dengannya di depan gedung kejaksaan. Sore hari sampai di Ngawi, kami langsung berangkat ke rumahnya yang menurut pendapatnya amat sangat dekat sekali itu padahal kenyataannya kami harus melewati hutan dan area persawahan dengan jalan-jalan yang seharusnya mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat. Lubang menganga dimana-mana dengan gelombang aspal yang membuat kami seakan-akan sedang surfing di Kute. Tidak sampai di situ saja, sesampai rumahnya kami langsung pergi mengunjungi wisata sungai yang dianggap cukup layak menjadi tempat wisata. Rupanya perjalanan menuju kesana harus melewati jalanan yang tidak ramah dengan kendaraan bermotor. Batu-batu besar dan pasir seakan menantang kami untuk melewatinya dengan berjalan kaki. Di sisi kanan kiri berderet sawah-sawah hijau yang menenteramkan mata. Dan ternyata benar, ada kompensasi dari keinginan bersusah payah kami. Tiba di suatu hutan, pemandangan berganti dengan pepohonan jati yang tinggi angkuh menjulang dengan ilalang-ilalang yang tingginya mampu menelan manusia. Sungguh kuasa Tuhan yang luar biasa, Dia menciptakan sketsa alam yang tiada bandingannya di bumi ini. Perpaduan harmoni warna hijau, kuning, dan putih yang serasi seakan menghanyutkan alam pikir kami dalam keterbatasan kami mencermati alam. Namun perjalanan belum berakhir, kami harus sampai ke Sungai, tempat tujuan kami. Tidak kalah indahnya, sungai yang ditunjukkan teman saya ternyata benar indah adanya. Dengan sebuah jembatan yang membentang, dan dua buah patung naga yang menyambut kami, sesorean kami habiskan dalam wisata mensyukuri keindahan alam tersebut. Ada kejadian yang lucu saat berada di jembatan. Teman saya sangai ingin berfoto di atas jembatan dengan posisi kami mengambil gambar dari bawah jembatan. Rupanya dia tidak tahu kalau di bawah jembatan, bertepatan dengan arah pandangnya, ada seorang bapak yang sedang mandi telanjang di sungai. Maka merahlah mukanya demi mendapati pemandangan yang tidak bisa dibilang indah tersebut. Anehnya, bapak yang diintip itu tidak merasa risih atau malu, dengan cuek ia melanjutkan mandi sorenya. Rupanya, sungai itu memang sering digunakan untuk padusan atau mandi demi keinginan-keinginan tertentu. Biasanya kalau kita menelusuri sungai, kita akan melihat banyak sesajen di gunung-gunung yang membatasi sungai tersebut. Menurut mitos, di sanalah orang-orang sering mencari kekuatan gaib atau sekedar bersemedi.
Tak terasa waktu hampir magrib, kami tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Solo karena dua hal. Yang pertama, langit sudah terlalu gelap dan bahaya kalau kami memaksakan pulang malam ini. Yang kedua, ternyata di Solo sedang hujan es. Kami pun menunggu besok untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Pagi harinya, kami masih memiliki dorongan hati yang kuat untuk menjelajahi Ngawi, karena kata teman saya pemandangan di atas gunung dan kebun-kebun teh sangatlah indah. Semua sepakat, pagi-pagi kami melaju menuju pegunungan. Tidak berbeda dengan Kemuning di Tawangmangu, pemandangan kebun teh yang terhampar memang indah dengan background matahari pagi yang cerah. Mungkin yang membedakan hanya jalan menuju ke gunung yang semakin tidak manusiawi dengan batu-batu sebesar lengan kaki manusia. Tapi semua terbayar ketika semakin ke atas, semakin terasa kecilnya kota seakan berada di bawah telapak kaki.
Ngawi, dengan segenap keindahannya yang mengagumkan, mungkin akan dapat memikat wisatawan seandainya pemerintah mau konsen dan fokus dalam mengembangkan potensi wisata yang ada di Ngawi.
Dua hari di Ngawi kami rasa cukup, kami harus kembali ke Solo, dimana orang-orang yang menyayangi kami sudah menunggu. Rasanya aku sudah sangat rindu dengan lembutnya kasurku dan sapa merdu adikku serta ributnya makhluk-makhluk kos yang menungguku pulang.
Ah, Solo. Aku pulang.


Rizka A
I0205109

nita atri nita_atri@yahoo.com

BOGOR-JAKARTA Via KRL

Pastinya banyak yang tahu tentang KRL (Kereta Api Listrik), sauatu sarana transportasi massal melayani kalangan menengah ke bawah yang selalu dikejar-kejar sang waktu tapi terhadang masalah biaya sehingga tidak memperhitungkan dan mempermasalahkan masalah kenyamanan dalam bertransportasi. KRL digerakkan dengan tenaga listrik (bukan batu bara seperti kereta zaman perang ataupun magnet pada kereta modern berkecepatan tidak masuk akal), sehingga bila paskan daya listrik terputus maka celakalah bagi orang-orang yang sangat bergantung pada sarana transportasi ini. Walaupun Indonesia dikatakan telah memasuki zaman multimedia anehnya kereta semodern KRL hanya melayani daerah JABODETABEK dan yang paling panjang adalah rute Stasiun Bogor-Jakarta Kota.

Sekarang mari kita nikmati perjalanan Bogor-Jakarta VIA KRL. Dalam konteks ini KRL yang dimaksud bukanlah KRL eKSPRESS Pakuan yang serba dingin, bersih, on time, teratur dan berongkos diluat kewajaran bagi kelas pekerja kebanyakan. tapi KRL biasa yang SEMUA keadaanya merupakan antonim dari KRL Ekspress Pakuan walaupun mereka berjalan di rel yang sama. Sedikit informasi, KRL beroperasi mulai jam 5 pagi sampai kira-kira jam 9 malam. Perjalanan kita mulai dari Stasiun Bogor jam 6 pagi, jam tersibuk diantara semua jam-jam yang lain dimana semua orang mulai dari pekerja, mahasiswa, murid sekolah, pedagang dll tumpah ruah menggungan sarana transportasi yang tidak manusiawi ini. Kereta mulai bergerak jalan pada pukul 6.15, padahal di jadwal harusnya berangkat pukul 05.45 (masih pagi saja sudah telat). sedikit deskripsi tentang interior KRL ini, satu gerbong memiliki 4 pintu masuk dan keluar dengan kursi saling berhadap-hadapan serta berkapasitas normal 40-50 orang baik duduk dan berdiri. dimana-dimana terlihat petunjuk kereta dalam bahasa Jepang (maklum kereta hibah dari Jepang). Tidak ada perangkat-perangkat pendukung keselamatan seperi hydrant, pemecah kaca rem darurat sehingga setiap pengguna wajib menjaga diri sebaik-baiknya. di atas kursi terdapat besi-besi melintang yang dimaksudkan sebagai tempat meletakan tas atau barang bawaan lainnya, tapi lebih sering kosong (siapa yang rela barangnya diletakan di tempat setidakaman itu). ok, cukup sekian deskripsi interior KRL ini. dari Stasiun Bogor debit pengguna masih dalam batas ambang kewajaran. rata-rata setiap gerbong terisi hampir setengahmya. memasuki stasiun Cilebut keadaan semakin memburuk...debit penumpang semakin meluap, gerbong telah dipenuhi berbagai macam mahluk ciptaan Tuhan...fuuuh, padahal masih lebih 10 stasiun lagi untuk sampai di tujuan. Stasiun berikutnya adalah Bojong Gede dan Citayam. disinilah teror sebenrnya dimulai...semakin banyak orang yang menggunakan jasa transportasi ini...seluruh gerbong benar-benra terisi...sampai ke atas gerbong, bila ingin membayangkan, 1m2 ditempati 4-6 orang...!no more space! bila anda kira kereta sudah terisi penuh, anda salah, di stasiun Depok penumpang semakin membludak, heran saya...mereka kok masih bisa masuk, padahal tidak ada yang turun dari kereta...!tapi di stasiun depok dan selanjutnya pondok cina banyak naik mahasiswi-mahasismi UI ynag wangi, segar dan cantik...lumayan untuk refreshing...!Selanjutnya stasiun UI..nah, para mahasiswa-mahasiswi UI calon penerus bangsa turun di stasiun ini...debit agak sangat sedikit berkurang...mayoritas penumpang yang masih tersisa adalah orang-orang kantoran, tionghoa yang igin segera membuka tokonya di pasar minggu, kuli panggul, pengamen, pedagang...uups hampir lupa, sedikit cerita, dalam kereta sepenuh itu masih ada saja pedagang yang menawarkan dagangannya...padahal bawaan mereka juga tidak sedikit, tapi masih saja bisa santai berjalanan di tengah lautan manusia..keajaiban dunia nomor 3....!lebih aneh lagi barang dagangannya...masih wajar kalo cuma koran, air meneral, rokok, ataupun aksesoris!tapi ini bernacam-macam barang dijual..mulai dari gembok, penggaris, obemg, minuman untuk berbuka (padahal masih baru sahur), lem tikus, sapu, kemoceng, nuah-buahan lengkap, roti, dan yang paling aneh yang pernah saya temui...jualan tabung gambar!!!

Selanjutnya Universitas Pancasila....lumayan banyak juga mashasiswa yang turun...rute selanjutnya adalah lenteng agung dan tanjung barat... tidak ada perubahan berarti, masih penuh sesak dangan aroma pagi yang menyengat...masuk pasar minggu..saatnya wapada penuh, pencopet dan para fetish banyak ditemui disekitar satasiun ini, bila ponsel anda berdering bersiap-siaplah membeli ponsel baru beserta nomor baru!!!juga bagi wanita-wanita yang meras cantik dan bertubug sintal siap-siap untuk menghadapi kemungkinan terburuk mengalami pelecehan...sebaiknya anda memeaki baju yang agak tertutup...!Setelah Pasar minggu sepanjang perjalanan kita akan disuguhi kerasnya kehidupan jakarta..mulai dari stasiun kalibata, duren, cawang dapt kita perhatikan bagaimana kehidupan rakyat kecil di kota beasr yang sebenarnya..tidak usah diceritakan saya yakin anda semua sudah tahu...masuk manggarai nih...wuaah...lumayan banyak yang turun, kereta yang tadinya sangat penuh jadi penuh saja...sekarang memasuki rel atas Jakarta...dari sini dapat kita lihat sisi lain jakarta...gedung yang tinggi menjulang, monas, istiqlal. busway, mobil yang berlalulalang...kontras dengan pemandangan pemukiman tepi rel yang kumuh..cikini, gondangdia, gambir, juanda,sawah besar, mangga besar dan Jayakarta terlewati dengan sukses..tidak berasa apa-apa karena kita sibuh disuguhi pemandangan indah ibukota...pada akhirnya kita dapat melihat jalur rel yang banyak dan berliku-liku, itu tandanya kita sudah hampir dampai ke tujuan akhir, Stasiun jakarta kota...perbandingan bertambahnya jalur rel sebanding dengan banyaknya bertambahnya rumah kumuh penduduk...akhirnya kerta sampai jam 6.15 tepat dan disinlah perjalan kita berakhir...semua penumpang turun dan seharian sibuk dengan urusan mereka masing-masing sampai sore menjelang dan rutinitas itu terulang lagi...di tengah padatnya kehidupan kota KRL tua tersebut tetap setia menjalankan tugasnya walaupun dengan nafas yang terengah-engah...

(tomy arief/ i0205120)

Tomy Arief me_architecture@yahoo.co.id

... (belum ada judul)

Memulai petualangan dalam selembar tulisan, ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan. Namun ternyata begitu memulai ada kenikmatan tersendiri ketika kita menuliskan satu persatu kata yang kemudian menjadi rangkaian petuangan dalam menjelajah pikiran. Kesulitan yang lain atau lebih tepat jika di bilang kebingungan lain yang saya dapatkan adalah menentukan pengalaman mana yang akan saya bagi dalam tulisan ini, karena ada banyak pengalaman yang bisa dan ingin sayai bagi, tentunya akan ada banyak waktu untuk berbagi ( setidaknya dalam satu semester ini ), tapi sebagai starting point dari proses belajar berbagi pengalaman ini saya akan akan memulai dengan pengalaman yang saya alami sendirian( ber-2, kika sepeda ontel saya masuk hitungan ),.

Berniat dari kos untuk hunting foto pameran KFA, dengan modal kamera Canon EOS milik kampus yang saya pinjam dan Sepeda “Kebo”, yang menjadi satu – satunya kendaraan yang saya punya saat ini, saya berangkat dari kos, dari saat geosan pertama sepeda, saya sudah menikmati dan mendapatkan perasaan yang berbeda,… Sendirian,… naek sepeda “Kebo”,…jalan – jalan,… rasanya benar,..benar mantab. Seiring dengan ayunan roda sepeda ternyata saya sadar bahwa saya belum punya tujuan ingin kemana..,,akhirnaya rencana awal untuk hunting menjadi tergeser ketika merasakan ternyata nikmat juga jalan-jalan naek Sepeda,.rencana hunting pun seketika berubah menjadi jalan-jalan,..sepeda saya tarik lagi, semakin menjauhi kos,.inisiatif pertama yang muncul dikepala adalah saya ingin ke Bale Kambang, karena belum perrnah kesana,.maka saya kayuhlah sepeda kesana,.jalan yang saya lalui sebenarnya sama dengan jalan yang biasa saya lalui jika ingin ke Manahan, namun saat jalan tersebut saya lalui dengan cara yang berbeda ternyata,. Rasanya Luar biasa berbeda.setiap jalan yang saya lalui terasa lebih ramah menyapa saya ( mungkin hal yang juga dirasakan oleh para pengendara sepeda di solo ).Setelah merasakan keramah taman Bale kambang yang menjadi payung peneduh kota Solo, saya tarik sepeda menuju daerah kota barat, dan lagi-lagi rasanya sangat berbeda dengan sebelumnya,.ternyata ada banyak hal yang saya lewatkan ketika jalan –jalan ke kota barat dengan motor,.dengan sepeda saya bisa melihat dengan lebih seksama apa yang dipersiapkan para pedagang disana, melihat ternyata ada lebih banyak pengamen yang sedang bersiap untuk unjuk gigi dari yang kira,.roda sepeda berhenti sejenak diwarung rokok, baru kemudian berputar lagi, akhirnya saya memilih untuk menjelajahi jalan Slamet Riyadi, sekaligus jalan yang saya ambil untuk perjalanan pulang ke kos,.Setelah keluar dari kawasan kota barat dan memasuki kawasan Slamet riyadi lagi-lagi sensasi berbeda dapat saya rasakan dari atas jok sepeda saya,. Menikmati perjalanan didaerah slamet riyadi dengan menggunakan sepeda benar- benar berbeda dengan menggunakan motor, ada banyak hal yang bisa saya rasakan di sana, jajaran took-toko yang menjadi pusat perhatian tentunya tidak luput dari pandangan, namun hal-hal kecil lain yang ada disana juga ikut dapat saya rasakan, angkringan-angkringan yang ada disana yang tertutup pandangan oleh toko –toko dapat saya lihat dan rasakan dengan seksama, dan banyak hal lain yang tentunya sangat menarik, seiring dengan laju sepeda saya, saya pun akhirnya sudah berada pada perjalanan pulang ke kos, yang menandakan bahwa berakhir pulalah perjalan saya hari itu,

Banyak hal baru yang saya dapatkan pada perjalanan itu, jalan- jalan yang biasa namun dilakukan dengan cara yang berbeda ternyata menghasilkan banyak perbedaan, hal-hal yang terlewat dari pandanag sepintas jadi lebih termakna, perjalanan yang kali ini saya bagi, tentunya menjadi awal yang sangat menarik untuk memulai jalan- jalan berikutnya.

Rahmat Hidayat

I 0206094

Tugas 1

Jelajah Arsitektur

rahmat hidayat chuuby_dude@yahoo.com

Crazy Cetho Trip; Petualangan Pertama Menuju Peradaban yang Hilang

Kejenuhan kuliah mulai melanda saat itu (sekitar semester 2... atau mungkin semester 3 atau 4? Sudah lupa...), jadi kami berlima dengan anggota Rani, Agnis, Hida, saya, dan Rini bersepakat untuk jalan-jalan. Bagaimana kami bisa memutuskan jalan-jalan ke Cetho? Yang jelas karena daerah Timur itu sudah lumayan sering kami datangi. Namun hanya beberapa dari kami yang sudah pernah ke Candi Cetho, itu juga ingatnya cuma sepotong-sepotong karena tidak sering ke sana. Saya sendiri belum pernah ke Candi Cetho. Bayangan tentang Candi Cetho lebih seperti mosaik gambar-gambar dari berbagai majalah dan media informasi yang lain.

Kenapa ada titel ‘crazy’ di depan kalimat ‘Cetho trip’? Pertama, karena kami sama sekali tidak berpikir tentang medan menuju ke sana. Sebelumnya kami tidak pernah menemui tikungan naik tajam sampai hampir 60 derajat. Sepanjang jalan cuma naik dan turun ditemani ngarai di sebelah kiri. Kedua, karena yang pegang kemudi setir belum begitu terbiasa dengan jalan naik-turun seperti itu. Ketiga, navigasi yang seadanya dan saya kira cenderung agak ngawur. Keempat, kami benar-benar bertumpu pada girl power. Soalnya, lima orang di dalam mobil cewek semua dan seandainya terjadi apa-apa pada mobil satu-satunya yang kami tumpangi mungkin kami akan kelabakan menanganinya. Apalagi jalan sepi karena bukan musim liburan, plus pemukiman juga jarang di sepanjang jalan. Ngarai melulu. Praktis bekal kami cuma mobil Atoz biru Donal Bebek dengan tangki penuh, navigasi seadanya, sebuah kamera digital, dan doa di sepanjang perjalanan.

Awal dari perjalanan lancar-lancar saja. Hingga persimpangan Candi dengan Tawangmangu kami berbelok ke kiri. Jalan masih lumayan datar dan suasana hati masih tenang. Dengan gembira ngobrol di dalam mobil, mengomentari hampir semua yang ada di pinggir jalan (dasar cewek) menanggapi rumah-rumah di sepanjang perjalanan apalagi kalau bentuknya agak unik dan lain sebagainya. Awal perjalanan sangat ramai, lima orang cewek dengan stok baterai Alkaline penuh. Bisa dibayangkan betapa ributnya.

Sampai akhirnya jalan mulai menanjak dan menurun dekat lembah pegunungan teh. Setelah beberapa saat di perjalanan yang naik-turun itu akhirnya kami memutuskan menepi untuk mendinginkan mesin mobil. Sembari menunggu mesin lumayan dingin, kami mengambil kamera dan mengambil banyak gambar. Hitung-hitung menemani pohon merah besar di seberang lembah yang berdiri kesepian. Bahkan kami dengan pedenya berfoto dalam berbagai pose yang aneh-aneh di tepi jalan.

Medan yang kami tempuh selanjutnya lebih berat daripada yang kami kira. Banyak tanjakan yang benar-benar sulit sehingga doa terus meluncur dari bibir. Semoga selamat sampai tujuan. Kami berhenti lagi. Bau kampas mulai menguar dari kap mobil. Di perhentian kali ini kami cuma diam di tepi jalan karena perasaan berdebar. Sekitar lima belas menit kami berhenti, perjalanan di mulai kembali. Pemandangan indah di sisi kiri dan kanan jalan sudah terlupakan karena kami merasa berdoa lebih penting daripada melihat-lihat. Meski terdengar hiperbola, sebenarnya di pikiran kami memang terlintas kemungkinan terburuk. Jalan kembali naik tajam. Rani mengemudi dengan segala nyali, hampir-hampir memaksakan Atoz malang itu. Alhamdulillah, kami sampai di halaman parkir Candi Cetho tidak kurang suatu apa dan malah jadi plus; plus bau kampas makin menguar dari kap mobil.

Tekanan terasa di pernapasan dan pendengaran. Tempat ini tinggi sekali, tiba-tiba saya menyadari. Lalu Hida bilang kalau tempat ini ada di puncak bukit yang tinggi sekali. Melempar pandangan ke luar area Candi Cetho, yang tampak hanyalah kabut tebal dan siluet samar-samar entah apa di depan. Debaran tadi terbayar dengan pemandangan indah. Rani tiba-tiba ingat akan menelepon temannya, but damn... sinyal tidak tertangkap di tempat ini. Dengan keputusasaan melihat ke rumah-rumah di tepi jalan. Tidak ada wartel. Tiba-tiba saya merasa terperangkap, kami hilang komunikasi dengan dunia luar di tempat ini? Yang benar saja?! Tetapi waktu melihat ada menara BTS di kawasan Cetho, rasa lega datang dengan cepat... ah, untung saja. Mungkin karena letaknya terlalu tinggi jadi bagian bawahnya malah tidak kena sinyal (entah teori dari mana, tapi teori itu menyamankan perasaan saya).

Kami membeli tiket di loket masuk. Tiga ribu lima ratus untuk satu orang. Lumayan murah (agak terlalu murah untuk perawatan sebuah peninggalan kuno). Segera kami mendongakkan kepala melihat ke ujung tangga curam di atas sana. Benar-benar tinggi dan curam. Sial, siapa sih yang niat banget bikin candi di puncak bukit seperti ini?! Namun harus saya akui, tempat ini sungguh menakjubkan (saya baru pertama kali ke Candi Cetho). Membayangkan manusia-manusia zaman dulu membawa batu dari bawah menuju ke puncak bukit untuk ditata seperti lego. Dapat batu dari mana? Bagaimana membuat batu-batu itu menjadi tampak sama dan seragam? Bagaimana memasangnya hingga bisa bertahan sampai sekarang? Kami yang sudah berbekal teknologi tinggi (baca: Atoz biru Donal Bebek) bisa berdebar-debar di sepanjang jalan, apalagi manusia dulu yang paling pol kendaraannya ditarik hewan. Mulai tidak masuk akal, hahaha!

Terlepas dari bagaimana cara membangunnya, kami memutuskan naik. Waktu itu kami sampai lumayan pagi, sekitar jam sembilan sampai jam sepuluh pagi. Masih sepi. Saingan kami hanya dua orang yang sedang pacaran. Setelah tangga pertama, ada pelataran atau halaman. Dari sini kami melihat beberapa set undakan batu tergelar landai di depan mata. Jauh lebih landai dari pada tangga masuk utama tadi. Setelah beberapa kali foto, kami naik lagi. Tempat ini lebih mirip seperti reruntuhan yang tertata rapi. Tidak banyak keterangan tentang berbagai macam bangunan yang tampak di sini. Hmm, ada sih tapi cuma di depan bagian pelataran. Bentuknya seperti kliping yang ditempel di papan mading sekolah. Tulisannya sudah tidak begitu jelas meski masih bisa terbaca jika kita memaksakan diri. Well, toh kita masih bisa menikmati pemandangan, jadi keterangan atau semacamnya tinggalkan saja, hahaha!

Ada beberapa macam tipe bangunan yang tampak dari kejauhan. Pertama, gazebo dengan atap ijuk. Sendirian di pelataran kedua. Kedua, bangunan beratap joglo yang sepertinya berfungsi sebagai pendhopo. Ada dua di pelataran ketiga dan keempat. Ketiga, bangunan beratap limasan dan berdinding, atapnya ditata seperti sisik ikan entah terbuat dari material apa. Bangunan ini tampak masih kokoh dan berada di pelataran kelima dan keenam. Di mata saya tampak sekali Candi Cetho ini dibangun secara simetris karena set undakan batu yang ditata linear tampak seperti sumbunya.

Kami sampai di bawah pelataran dengan Arca Saraswati melambaikan dua pasang tangannya. Sepasang janur kuning terletak di gapuranya. Kami tidak naik ke pelataran Saraswati tadi karena selain dipungut biaya kami juga diharuskan melepaskan alas kaki. Ngomong-ngomong soal Saraswati, setahu saya Saraswati adalah dewi yang kata orang dulu disebut Dewi Kesuburan atau Dewi Bumi, berbeda dengan Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi panen. Mungkin Candi Cetho ini didirikan sebagai Candi Kesuburan, berkaitan dengan adanya Sarawati dan Lingga-Yoni yang ada di dalamnya. Tapi itu sekedar hipotesis saya saja, tidak ada bukti tertulis yang saya ketahui, pengetahuan saya tentang candi di Indonesia tidak begitu banyak.

Kami memutuskan turun lewat jalan samping, tidak lewat tangga yang kami lalui. Jalan samping ini tidak ada tangga. Yang ada hanyalah landaian menurun, kadang kadar melandainya standar tetapi kadang juga agak curam. Tidak cocok untuk sandal. Dari jalan samping ini kami bisa mendengar keramaian dari perkemahan dekat Candi Cetho. Setelah sampai di bawah Candi Cetho, kami memutuskan untuk makan siang. Aroma sate dari warung sate kelinci sangat menggoda.

Setelah kenyang, kami pun kembali ke mobil dan memutuskan pulang. Kali ini Hida duduk di depan sebagai navigator bagi pengemudi. Perjalanan terasa menyenangkan, karena perut kenyang dan niat berjalan-jalan sudah tercapai. Di tengah perjalanan, mobil belok ke kanan berdasar saran Hida untuk menuju jalan pulang. Jalan mulus saja. Tetapi kenapa rasanya tadi tidak lewat jalan ini ya? Jangan-jangan saya mengalami disorientasi? Perjalanan masih diteruskan hingga kami melewati lapangan. Lapangan? Memangnya tadi kita lewat lapangan ya? Penduduk di dalam mobil mulai gelisah.

Kami sampai di jalan yang di kanan-kiri banyak pohon karet. Waduh... tiba-tiba kami mendapat pengetahuan bahwa kami ini nyasar. Agak panik juga tapi Rani memutuskan untuk tetap maju ke depan. Siapa tahu bakal sampai di tempat yang dikenal. Pohon-pohon karet mulai menghilang dari pandangan, digantikan persawahan. Jalan yang tadinya mulus mulai berlubang-lubang dan tidak rata. Hingga taraf seperti ampyang. Jalan masih jelek dan kami melewati beberapa rumah. Beberapa toko kelontong ada di samping kanan jalan, langsung dengan antusias kami mencari alamat toko untuk mengetahui lokasi kami. Heh? Sragen? Apaaah?

Rani pantang menyerah. Terus mengemudikan mobil ke depan meski terkendala jalan off-road. Setelah beberapa saat, jalan mulai mulus kembali. Namun perasaan kami masih berada di antah berantah. Tampak sawah lagi di kanan-kiri. Masih terus, perjalanan belum selesai dan bahkan terasa lebih lama. Untung tadi sudah isi bensin penuh-penuh, coba kalau di tengah jalan sepi begini tiba-tiba mobil mogok kehabisan bensin. Tidak terbayangkan betapa susahnya. Hei, sepertinya itu jalan raya!

Entah siapa yang pertama kali bilang begitu. Tetapi Rani menjadi semakin semangat memacu mobil. Semoga itu bukan fatamorgana. Dan memang bukan. Itu benar-benar jalan raya. Mobil naik ke jalan raya dan ambil arah kiri. Let’s see... sepertinya ini daerah Kebakkramat. Semuanya tertawa lega. Konyol sekali. Paling tidak, ini tempat yang lumayan familiar bagi saya. Asal terus ke arah Selatan pasti bakal sampai di Palur.

Aaah, Crazy Cetho Trip sudah selesai! Setelah makan sekali lagi (cewek-cewek tukang makan semua ne...) kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sepertinya tidak ada alasan untuk kapok jalan-jalan lagi bersama, tapi memang Atoz biru Donal Bebek itu harus menginap di bengkel beberapa hari sesudahnya karena kelelahan.

~ Sum short story from Lesmi Mitra F I 0205084 ~

Lesmi M Fatimah simple_poem4787@yahoo.com

... (belum ada judul lagi)

Assalamu’alaikum.....

Sebuah kata yang layak di ucapkan seorang pendatang baru. Pendatang yang ingin terus menjadi pendatang dari satu tempat ke tempat yang lain. Menjadi seorang yang menyukai setiap “perjalanan” tidak lah sulit karena “every single journey must have special meaning for the traveller”

Sebelum pendatang banyak bicara tak pantas kalau tak memperkenalkan diri, 7 hari setelah aku dilahirkan, kedua orang tuaku memberikan sebuah nama HIDAYATUL MUSLIHAH, namun seiring berjalannya waktu nama ini tereduksi, sehingga aku di panggil Hida, Ida, Da, dan ada juga yang manggil Tul (tapi ni hanya diizinkan bagi orang-orang ptg, jd JANGAN COBA-COBA).

Pada dasarnya mengikuti mata kuliah KKL sebuah ketidaksengajaan, tapi ketika aku buka blog jelajah arsitektur UNS, aku tau mata kuliah ini cocok denganku yang selalu menikmati perjalanan dengan dua cara; pertama, diam dan bertanya pada diri sendiri, kenapa begini, kenapa begitu, oh... mungkin karena ini, atau karena itu, dsbg. Kedua, menikmati perjalanan dengan membahas berbagai situasi dan kondisi mulai dari orang “puup” atau mandi di kali, tampilan fisik bangunan, hingga rasa yang tercipta didalamnya. Tentunya bagian ini tak dapat ku lakukan sendiri, karena hamapir setiap perjalanan yang kulakukan, diputuskan bersama TRIO KWEK-KWEK(Hida, Rani, Agnis) dan DUO TONG-TING(Lesmi, KD) secara DADAKAN, dan dinikmati dengan cara kami tentunya.

Sekarang saatnya berbagi cerita untuk belajar bagaimana menghayati gejala arsitektur, mungkin cerita ini belum terlalu ngarsitekturi tapi bisa dianggap sebuah cara belajar mempresentasikan pengalaman.

Dari banyak perjalanan yang kami miliki, kami selalu memberinya sebuah nama yang membuat kami lebih menghargai memory tersebut. Pada mulanya aku ingin berbagi

“CRAZY CETHO TRIP” namun tampaknya Mimi(Lesmi) take that part, lalu aku putuskan berbagi cerita yang lain..

LONG ROAD to HEAVEN

Perjalanan ini termasuk dalam kategori perjalanan yang tak terencana, hari itu tepatnya Selasa, 6 November 2007 sudah jadi “budaya” di kampus kita tercinta ketika minggu pertama kuliah selalu tidak ada kuliah perdana yang dilaksanakan meski kami sudah menunggu sampai lumutan. Jadi, karena merasa tidak mau rugi sudah pamit dari rumah untuk kuliah, mulai muncul diskusi.....

“Mau kemana kita?”

“Kita mau makan apa?”

“Kita mau kemana?”

“Mau makan apa kita?” dst.............

Nampaknya kami sudah bosan dengan pusat kota ataupun TW, hingga tercetuslah ide untuk pergi ke Jogjakarta. Tujuan utamanya adalah tempat makan baru dan istimewa, berdasar pengalaman mengesankan Bondeng(Rani) makan di tambak Mang Engking, Sleman dengan menu Udang bakar Madu, um.... nyam-nyam-nyam....

Tanpa pikir panjang kami pun tergaet si Udang Madu, dan menancap gas ATOZ biru meninggalkan Solo.

Selama perjalanan Solo-Jogja tak banyak hal bermutu yang kami bahas, kecuali sikap pemerintah daerah yang mempertahaknan rimbunnya pepohonan(sekitar Prambanan) meski dilakukan pelebaran jalan. Meski tampak aneh dan terasa aneh, melalui jalur cepat yang sempit dan merupakan bekas jalaur lambat. Mulanya obrolan bermutu itu dimulai dengan pujian, kemudian berlanjut mengenai gaya berkendara. Sebelum masuk zona peralihan (weitzz...) mobil-mobil sepertinya pada bingung (entahlah, kami tak tahu bagaimana menjelaskan bahwa kami bisa membaca wajah mobil yang sedang bingung, sedih, senang, atau marah. He5x)

“Lewat kiri atau kanan?”

“Masuk tepi atau tengah?” dst....

Ternyata ada bedanya, mobil yang lewat tepi cenderung melaju lamban, sedangkan mobil yang lewat tengah cenderung tancap gas sekencang-kencangnya. Ada beberapa praduga, tapi yang bermutu mungkin hal ini terkait dengan spasial ruang. Gamblangnya, kondisi jalur yang sempit mengkondisikan psikologi pengendara untuk lebih berhati-hati sehingga laju kendaraannya lambat. Sedangkan pada jalur tengah yang merupakan dua jalur membuatnya terasa lega, dan leluasa sehingga pengendara berlaku sebaliknya.

Obrolan tadi asih terasa biasa dan tidak ada artinya, karena cacing-cacing di perut kami belum mengeliat-mengeliat.

Perjalanan dilanjutkan dengan membelah kota Jogja melalui jalur utamanya. Sepanjang jalan yang dipenuhi berbagai etalase toko dengan berbagai merk barang dagangan, kondisi jalan terasa kian sempit karena di jadikan area parkir, belum lagi kemacetan tiap saat karena ada mobil yang keluar-masuk parkiran. Sebenarnya siapa yang salah, tokonya, aturannya, atau individunya???? Ya toh kejadian ini juga banyak muncul di Solo.

Meskipun AC mobil mengepul kencang, rasanya tetap SUMPEK. Tapi setelah keluar dari keruwetan tadi, tanpa sadar kami menghela napas dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dan kami merasa BEBAS. Kalau dibayangkan mobil yang kita kendarai adalah kotak kecil dan kondisi lingkungan adalah kotak besar, kotak kecil yang kosong berada di dalam kotak besar yang padat, presure si Kotak kecil jadi tinggi ternyata, meskipun dia kosong, tapi kondisi luar sangat mendominasi kondisi di dalam, begitu kira-kira...........

Perjalanan belum berakhir,

Setelah keluar dari kota Jogja, muncul perasaan bersemangat untuk segera MAKAN, apalagi bangunan di kiri dan kanan jalan sudah mulai menunjukkan suasana pedesaan. Dimana tiap rumah punya halaman luas, rumah berada jauh di dalam pekarangan, bangunannya semakin pendek, tiap beberapa saat diselingi sawah. Sungguh INDAH.......

Melaju di tengah hamparan sawah, dan jauh di batas pandangan dikelilingi bukit-bukit yang masih hijau, di tumbuhi pohon kelapa. Melihat anak-anak pulang sekolah jalan kaki/sepeda, pak tani bercanda dengan kebonya (apa itu?!?!?!?!), saluran air yang deras meski buthek, pokoknya

REFRESH banget,

HENING banget,

MENYENANGKAN......

Kebahagiaan tak berlangsung lama, sang Supir mulai kehilangan arah, nah disaat inilah keahlianku berguna. For note dari kami berlima aku yang paling dianggap cakap with BASA-BASI STUFF yang perlu keahlian berbahasa jawa dengan orang tua. Nah.... tiap kali nyasar akulah yang menjadi ujung tombak pribahasa “Malu bertanya, sesat di jalan” jadi berhentilah kami di sebuah warung, dan aku beraksi dengan ibukNa bakul, he5x

Keragu-raguan pun terbukti, kami salah arah dan harus berbalik tapi alhamdulillah cuma 1 km, saat inilah para Cacing berteriak-teriak, dan tujuan makin diharapkan segera tercapai.

Setelah melalui satu perkampungan kami melaju lagi di tengah hamparan sawah yang tak kunjung habis. DESPERADO..... SUCIDO.....

Muncul papan nama, MANG ENGKING, kami mulai membuka mata, tapi sang Supir berkata “bukan itu dech..... dulu g kaya gitu ko....”

Yach sebagai follower yang tak tahu apa apa, kami nurut aja di bawa terusssssssssssssssssssssssss menyusuri jalan. Hinga akhirnya sampai perempatan yang kami katakan PERADABAN (sudah ada rumah bagus, pertokoan, mobi-mobil, motor, angkutan umum). Namun kami putuskan untuk terus saja.............

Yang kami temui berikutnya lagi-lagi sawah yang tak lagi kami anggap indah ataupun menyenangkan, “ kayaNa bener yang tadi dech.....”

Demi menghapus keraguan, sekali lagi aku harus bertanya pada bapak bakul warung.

“MBAK BALIK ARAH, NANTI DI PINGGIR JALAN”

“napa mboten wonten ingkang sanes pak?”

“NGGIH NAMUNG NIKU, MBAK.”

Kwak...........kwak...............kwak......................

Akhirnya.................... kembali menyusuri jalan yang tadi telah dilalui, dan tibalah kami...........

Its heaven.............

“Mang Engking” adalah tempat makan dengan rasa khas Sunda, dibangun di atas tambak dengan material bambu, seakan mengambang di atas tambak.”

Mungkin ketika melihat gambar anda berfikir, air di sana mengalir, bila anda berfikir demikian yakinlah bahwa anda salah. Ternyata hanya efek angin karena lapangnya lokasi ini, jangan salah ini juga bukan karena efek foto, tapi secara riel ketika berada disana sejenak kita berfikir, kalau air ini mengalir, dari mana asalnya??? ANGIN jawabannya....



Its HEAVEN...................